Peranan Aceh Dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949)
Sumber foto : canindonesia.com |
Tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno Hatta. Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung diterima baik oleh semua pihak, terutama pihak Belanda dengan gigih berusaha untuk kembali menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Pertentangan pihak Belanda dengan Indonesia sampai menjelang tahun 1950. mereka menjalankan politik adu domba dan pecah belah diantara rakyat Indonesia dengan maksud dapat menduduki kembali seluruh kepulauan Indonesai.
Dalam
upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui
surat kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk
berperang dan menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang
Dunia II. Selain melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua
kali agresi bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan
kedua tahun 1948. Akibat serangan itu dalam waktu relatif singkat hampir
seluruh wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.
Daerah
yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia
yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk
mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha
menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya
yang selalu dapat digagalkan. Beberapa kali Belanda melancarkan serangan udara
terutama terhadap komando Artileri dilapangan udara Lhok Nga dan beberapa kota
lainnya, seperti Ulee Lheue, Sigli, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh dan Tapak
Tuan, tetapi dapat di balas rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan menggunakan
meriam-meriam anti pesawat terbang.
Pasukan
marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada
tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti
Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng, Lhoksumawe, Langsa,
Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering
beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.
Oleh karena kuatnya
pertahanan pantai yang dilengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil
rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang
bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan kemerdekaannya dengan
selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi
di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan menyeret mereka ke
kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah terlaksana
sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949.
Gelora Kemerdekaan di Aceh
Berita
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak segera diketahui di Aceh.
Berita baru diketahui secara resmi oleh rakyat Aceh pada tanggal 29 Agustus
1945 setelah kembalinya Mr. T.M. Hasan dan Dr. M. Amir dari Jakarta.
Kedua orang ini mewakili pusat Republik Indonesia untuk seluruh pulau Sumatera.
Akan
tetapi desa-desus mengenai berita tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh
beberapa orang tokoh Aceh. Mereka belum berani mengumumkannya kepada
masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentera Jepang.
Setelah
diketahui secara resmi tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, atas
keberanian para pemuda Aceh terus mengadakan kampaye kepada rakyat untuk
menyiarkan berita tersebut. Melalui usaha para pemuda pula yang dengan beraninya
mencetak berita-berita itu pada percetakan “Semangat Merdeka” serta kemudian
disebarkan kepada masyarakat dengan sangat hati-hati, karena pada masa itu
Jepang masih menguasai semua instansi pemerintahan.
Para
pemuda melaksanakan pengambilan beberapa instansi pemerintahan Jepang seperti
Kantor Percetakan “ Atjeh Shimbun”, Pemancar Radio Jepang “Hodoka” Kantor
Berita Jepang “Domei” dan instansi-instansi lainnya; yang diperlukan bagi
memperlancar pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Surat kabar “Semangat
Merdeka” diterbitkan 14 Oktober 1945 oleh para pemuda untuk menyebarluaskan
berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah,
di toko-toko, di kantor dan sebagainya.
Pihak
Sekutu yang menang perang terhadap Jepang tidak berapa lama kemudian mendarat
di Indonesia dengan membonceng tentara Belanda dan NICA (Netherlands Indies
Civil Administation) di belakangnya. Sebelum melakukan pendaratan, Jenderal Sir
Philip Christison yang memimpin pasukan Sekutu pada tanggal 25 September 1945
menyiarkan dari Singapura melalui radio dan wawancara Pers bahwa tentara Sekutu
yang mendarat di Jawa dan Sumatera tidak membawa serdadu-serdadu Belanda dan
NICA. Bendera merah putih boleh di kibarkan terus dan organisasi di bawah
pimpinan Soekarno tidak dilucuti senjatanya.
Jenderal
Sir Philip Christison menegaskan pula, bahwa hanya ada tiga tugas dari
kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu melucuti senjata Jepang,
mengembalikan orang tawanan dan tahanan Jepang; serta menjaga keamanan.
Propaganda yang disiarkan oleh Christison ini berlainan sekali dengan
kenyataannya. Setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia.mereka mengadakan
tindakan-tindakan seperti merampas toko-toko, kantor-kantor pemerintah. Sekutu
memperkuat pula kedudukannya di beberapa kota di Indonesia, serta melakukan
kekacauan di kota-kota yang menimbulkan insiden-insiden kecil yang kemudian
berubah menjadi pertempuran secara besar-besaran.
Daerah
Aceh yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, agak berbeda
dari daerah-daerah lainnya dalam mempertahankan kedaulatan negara
Indonesia.. Selama berkecamuknya perang kemerdekaan, Aceh tetap dapat
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia secara keseluruhan.
Aceh
di juluki sebagai Daerah Modal, bukan saja dari kekuatan-kekuatan rakyat Aceh
mempertahankan tanah air, tetapi juga karena di Aceh terdapat alat komunikasi
seperti pers dan radio. Dengan adanya pers dan radio mempermudah hubungan
antara pemerintah daerah-daerah lain serta antara pemerintah Aceh dengan
pemerintah pusat.
Daerah
Aceh memang tidak berhasil di kuasai musuh, namun bukan berarti daerah ini
tidak pernah di serang oleh tentara Belanda. Mereka sering melakukan serangan
baik melalui udara maupun laut seperti didaerah Lhok Nga, Ujong Batee, Ulee
Lheue, Lhoksumawe dan beberapa tempat lainya. Namun demikian serangan-serangan
Belanda itu selalu dapat dipatahkan oleh angkatan bersenjata daerah Aceh.
Ketidakberhasilan
Belanda menguasai Aceh, menyebabkan Aceh menjadi aman dan pemerintah berjalan
lancar. Hal ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk memperbaiki dan
membangun saluran komunikasi seperti pers dan radio, karena itulah melalui
pers dan radio pemerintah Aceh dapat memberi bantuan yang
pertama-tama ke daerah-daerah lain yang sedang menghadapi tentara Belanda.
Demi
kelancaran perhubungan Aceh dengan daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah
daerah Aceh pertama sekali menggunakan media massa Post Telegram Telepon (PTT).
Post Telegram Telepon sudah dikenal di Aceh semasa Belanda berkuasa di Aceh.
Post Telegram Telepon mempunyai peranan dalam masa perang kemerdekaan Republik
Indonesia, karena melalui media ini dapat menyampaikan suatu berita dan
menerima berita secara praktis tanpa ada alat perantara.
Keberadaan
telegram tersebut membuat daerah Aceh lebih percaya diri dalam rangka membantu
bangsanya yang sedang berjuang mati-matian mmpertahankan kemerdekaan Republikm
Indonesia. Kemudian pemrintah daerah Aceh mengirim pasukan bersenjata Aceh
untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda yang penting sekali
artinya di daerah lainnya.
Pemancar radio
Kutaraja pada mulanya sangat sederhana bentuknya dan keadaannya. Namun demikian
peranannya dalam mendorong dan membangkitkan semangat juang rakyat melawan
pemerintah Belanda sangat penting sekali artinya di masa revolusi tersebut.
Ketika
Belanda melancarkan agresi yang pertama ke seluruh pelosok tanah air Indonesia
dan pada hari itu juga yaitu tanggal 21 Juli 1947, lapangan terbang Lhok Nga
mendapat serangan dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, yang kemudian di ikuti
dengan beberapa daerah pantai lainnya. Namun Belanda tetap tidak
berhasil menguasai Aceh, sedangkan daerah-daerah diluar Aceh hampir keseluruhan
dapat dikuasai mereka. Ketika itu peranan radio Kutaraja semakin bertambah penting
kedudukannya sebagai alat komunikasi.
Disamping
radio Kutaraja, angkatan perang atau Gajah Devinisi X atas nama pemerintah
daerah Aceh; walau dalam keadaan kritis ini berhasil pula mendirikan sebuah
pemancar lagi yang kuat jangkauan siarannya, yaitu di kenal dengan nama Radio
Rimba Raya. Melalui radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya inilah secara
bersama-sama amat berperan dalam rangka mengorbarkan semangat kepada para
prajurit di kantong-kantong gerilya yang sedang mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.
Radio
Kutaraja yang pada umumya memberi semangat kepada para pejuang yang berada
digaris depan, maupun kepada masyarakat untuk memberi sumbangan untuk
pembiayaan perang di sekitar daerah Aceh serta daerah-daerah lain sejauh
jangkauan siarnya; dapat di terima dalam wilayah Indonesia.
Dalam
suatu revolusi nasional atau dikenal dengan kemerdekaan Indonesia, bahwa faktor
ekonomi juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya revolusi yang sedang
berlangsung. Peranan pers dan radio dalam perang kemerdekaan dibidang ekonomi
adalah menyiarkan tentang kebutuhan para pejuang, agar masyarakat dapat
membantunya seperti memberi sumbangan makanan, pikiran dan persediaan
perlengkapan lainnya.
Pada
bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang
tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di
Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua
buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan
bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah
pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu
kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara
pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda
terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda
beroperasi di Birma.
Peran Aceh Dalam Perang Kemerdekaan RI
Perjuangan
Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di
Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya berjuang di Aceh saja akan tetapi
juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat lain di Sumatera
Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh berjuang di Medan
Area dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh. Menghadapi
tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor Jenderal R.
Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.
Dalam
sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya menyediakan
terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan
saudara-saudara segenap penduduk Aceh. Akibat agresi pertama Belanda ini
menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar.
Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk.
Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan
Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak
pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari
tekanan pihak Belanda.
Pada
masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh,
Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama
agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta
dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad
Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh
Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 pemerintah memberikan kuasa kepada Mr.
Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI,
sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr.
Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.
Dengan
agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di
Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang
masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh. Untuk mengahadapi
kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan kepada
pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari pada
bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion
TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di
Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh
karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa
dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa
Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion
Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya
Bakong.
Tugas
pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki
Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya
pasukan bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi
pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat
menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.
Walaupun tugas
utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda ke
Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di Aceh
dapat di duduki kembali oleh Belanda.
Sumbangan Rakyat Aceh
Daerah
Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal
utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini
didukung kenyataan, bahwa satu-satunya daerah dalam wilayah Republik
Indonesia pada waktu itu yang tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah
daerah Aceh.[17] Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia
dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia
masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.
Selain
itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang telah
diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh
dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan,
bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk
menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara. Pesawat
yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama
sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan
pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa
uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis Dakota
tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan
teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001).
Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi
pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat
yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima
kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di
Birma.
Pada
mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia
dan rute luar neger,i yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam
negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos
blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia. Kemudian
pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh
Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways.
Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.
Selain
telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada
pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain
untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera
Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area
sebanyak 72 ekor kerbau.
Peranan
Radio Rimba Raya
Salah
satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat
komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946
daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja.
Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun1947 ditambah sebuah pemancar
lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya. Kedua
pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan,
sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
Mengenai
Radio Republik Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di udara
pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter.
Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun
1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan
siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan
April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan
mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap
di luar negeri. Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia
dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang
mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Mengenai Radio Rimba Raya
berbeda dengan Radio Republik Indonsia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini
mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI
yang dipimpin Mayor John Lie.
Pemancar
ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon,
kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu
(Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin
memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini
di tempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya 10
km dibagian barat kota Takengon.
Dalam waktu singkat
sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio
Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang warga
negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka semenjak itulah
ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi; karena
dikuasai Belanda, maka Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan
hasil yang baik sekali.
Ketika
radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia
sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula
dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya, Radio Rimba
Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan “Bahwa Republik Indonesia masih
ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih
ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada.” Dan disini, adalah Aceh, salah
satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”,kata siaran radio
tersebut. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan lagi,
sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil isi
paper diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Aceh merupakan
salah satu wilayah Republik yang setia pada pemerintah Indonesia. Daerah Aceh
merupakan Modal utama dalam perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena
tidak pernah dikuasai oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga
daerah yang selalu menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik
Indonesia; baik berupa senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan
dalam menegakkan kemerdekaan. Unsur ajaran Islam berupa semangat jihad
fisabilillah atau Perang di Jalan Allah sangat berperan dalam perang
kemerdekaan Indonesia di Aceh. Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil), yang
mendorong rakyat Aceh melawan Belanda pada Zaman Perang Belanda dahulu, juga
bergema kembali pada era perang kemerdekaan Indonesia.
Referensi
Abidin, Zainal. T..Kisah Perjuangan
Memperjuangkan Daerah Modal, Jakarta : Beuna, 1990. Abdullah Ali, Sejarah
Perjuangan Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan (1945-1945) (Banda
Aceh : Depdikbut., 1985, p. 116.
Alfian, Teuku Ibrahim. Revolusi
Kemerdekaan di Aceh (1945-1949), Proyek permuseuman Daerah Istimewa
Aceh, Banda Aceh, 1982.
Abdullah Ali, Sejarah Perjuangan
Rakyat Aceh Dalam Perang Kemerdekaan (1945-1945), Depdikbud., Banda
Aceh ,1985.
Amin, S.M… Kenang-kenangan di Masa
Lampau, Jakarta : Pradnya Paramita, 1978
Hardi, Daerah Istimewa Aceh-Latar
Belakang dan Masa Depannya, Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1993
Hasjmy, A. Semangat Merdeka-70 Tahun
A. Hasjmy Menempuh Jalan Pergolakan Dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta
: Bulan Bintang, 1985.
Ibrahim, Muhammad. Sejarah Daerah
Propinsi Daerahi Istimewa Aceh. Banda Aceh: Depdikbud., 1978
Jakobi, A. K., Aceh Daerah Modal.
Jakarta : Yayasan Seulawah RI-001,1992.
Sardjono. V. dan GL. Marsadji, Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI)-Penyelamat Negara dan Bangsa Indonesia. Jakarta
: Penerbit Tontamas, Sumatera, 1982
Sartono Kartodirjo. Sejarah Nasional
Indonesia, Jilid VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Talsya, T. A. Modal Perjuangan
Kemerdekaan (Perjuangan kemerdekaan di Aceh). Banda Aceh : Lembaga
Sejarah Aceh, 1990
Zamzami, Amran, Jihad Akbar di Medan
Area. Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
______. Peranan Rakyat Aceh Dalam Perang
Kemerdekaan (1945-1949). Jakarta: Beuna, 1990.
Zamzami, Djanan M., Tentara Pelajar
Resimen II Aceh Divisi Sumatera 1945-1950. Jakarta : Pengurus Persatuan Ex
Tentera Pelajar Resimen II Aceh Divisi Suamatera, 1985.
Komentar
Posting Komentar